LAIN

Senin, 24 Oktober 2011

Catatan Perjalanan

setelah ini kita akan membaca apa saja yang dibaca yang disajak yang direnggut  yang dirangkul yang ditepi
Begitu waktu memukul dada mundur lah teratur dari yang teratur yang di tata yang di singkap
Selain kaca ordina dan deburan ombak, disamping ini seongok anak buru tenggelam di birahi yang di suci yang di belai yang di tuntas

          Anak kecil mengais kaleng bekas
          Karung sebesar punggung seberat pundak
“ warna bendera Indonesia merah putih, seperti seragam SD saya yang entah kemana”

Lalu menghabiskan sisa hari dengan tatapan nanar di tanah sendiri

Sabtu, 22 Oktober 2011

Sebuah Sajak Kawan : Rabu Pagi Syahbana


Sebelum Kita Beranjak Tidur
lewat beranda
kutulis lagi kata kata
untuk kau rawat; nona

tiket telah aku genggam
besok pagi pagi aku berangkat pergi
kembali bersaing di tanah gangsing;
semoga tiada kutuk
lagi petaka menimpa.

kamis selepas subuh aku memilih
mengemas kembali buku buku lagi catatan
ingatan juga kata kata yang kerap kau kirim
via telepon menyala; malam
sebelum kita beranjak tidur.

kelak kita kan diapung jarak
berhari berbulan kali tiada.
sebelum kereta jadi berangkat;
nona kembali ku titipkan batin ini
guna kau tawan bersama senyuman.

Purwokerto, September 2011
*dalam keadaan merindu ;D

Rabu Pagi Syahbana : seorang penyair muda tinggal di jogjakarta

Sehabis Semalam Hujan

Kita memilih memilah kata
Ombak nan deru terpecah karang
Di buai pinggir berliter air mata

Sebab engkau slalu memburu
Apa jua kau dapati
Setitik cahya langit yang kau sebut lelintang
Sehabis semalam hujan

Dan tetaplah tembok putih tinggi itu berdiri
Jadi batas waktu di linang gemurau

Aku sehabis semalam hujan
Menghitung sasmita lalu menerjemahkannya
Di butiran tasbih berlingkar denyut
Tak pernah engkau sebut kau aku lelintang
Sedang selain fikir kau aku pancar cahya gemintang

Jogja, okt 011

Rabu, 19 Oktober 2011

Sajak M. Yamin dan A.M. Dg. Miyala

Beberapa puisi yang saya temukan berserakan di rak buku, setelah sekian lama tidak  saya gauli lagi. Ada dua buah puisi dari Sastera Pujangga Baru yang kemudian setelah beberapa saat saya telisik dapat menjadi tolak ukur perkembangan dan arah laju kesusastraan, terutama dalam Puisi.



Permintaan

Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyian penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.

Sebelah timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelipatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.

Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula tertabur

Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi, Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
Muhammad Yamin, 1920
Sajak ini di tulis Muhammad Yamin pada tahun 1920. Awal di sebut  Soneta sebuah pengembangan dari pantun(bentuk lama), dengan susunannya yang terdiri dari empatbelas larik, serta pola rima yang selalu di gubah sesuai dengan irama pantun yang umum, empat ketukan di setiap larik yang biasanya terbagi menjadi dua penggal.



GUBAHAN
            O, Kesombongan !
Aku benci kepadamu, kesombongan,
Seperti aku benci.
Kepada anak yang durhaka kepada ibunya;

Aku benci kepadamu, kesombongan,
Seperti aku benci
Kepada isteri yang durhaka kepada suaminya;
Aku benci kepadamu, kesombongan,
Seperti aku benci
Kepada orang yang durhaka kepada Tuhannya!

A.M. Dg. Miyala
Sajak Gubahan A.M. Dg. Miyala ini keluar hampir bersamaan dengan sajak Permintaan. sedang dalam Gubahan sudah mulai bermain dengan bentuk simbol dan pola-pola tertentu, walau pun tetap dengan bentuk Rima pantun.

Senin, 17 Oktober 2011

“Membaca” Puisi Palestina, Analisis kritis puisi

Entah
Semacam kerinduan
tapi bukan,
semacam kesepian
sepertinya juga bukan,
semacam sayang
semacam cinta
semacam kagum
tapi juga bukan,
lalu apa?
Entahlah aku tidak tahu
aku juga tidak mengerti,
semua semacam candu
disuntik
dihisap
tapi entahlah aku menikmati
sepertinya
kurang jelas.


Rembang, 9-10-11

Palestina bila seorang penyair perempuan yang masih sangat muda, kebetulan saya mengenalnya karena halaman kampung yang sama Lasem tercinta. Membaca puisi-puisi palestina bila saya merasa di loncatkan ke zaman paling muda, dimana di jadikan ukuran seorang manusia mampu memaknai cinta secara esensial dalam wujud yang paling jujur sekaligus sederhana. Dalam puisinya, yang kebetulan saya di tag di Facebook Entah saya diminta melakukan analisis, yah bukan bidang saya semestinya kerna saya hanyalah seorang penikmat sastra dan kebetulan lebih konsen ke ke-Budayaan. Kalau analisis ini sedikit ngawur, maklumilah.hehe

Dalam puisi Entah, nabila begitu saya memanggilnya mencoba menorehkan pengalaman puitik yang begitu mengejutkan batinnya. Sampai pada titik dia tidak menemukan definisi terhadap pengalaman tersebut


Semacam kerinduan
tapi bukan,
semacam kesepian
sepertinya juga bukan,
Identifikasi diksi dan tanda baca yang di pakai dalam penggalan syair di atas, pengandaian terhadap kerinduan, kesepian dan di putus dengan bukan menandakan bagaimana Nabila mencoba membaca sesuatu yang tak di pahaminya dengan analogi sederhana yang dia kuasai. Begitu pun dengan tanda koma di tiap kalimat, tanda koma di akhir kalimat dalam semiotika simbol dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk keraguan untuk mengakhiri kalimat. Dalam puisi ini tentu bagaimana bila tidak bisa menemukan suatu yang utuh menurut pemahammnya. Sedang dengan dua “Semacam” nabila memprtegas kebingunnyanya terhadap pengalaman puitik itu sendiri.
Entahlah aku tidak tahu
aku juga tidak mengerti,
semua semacam candu
disuntik
dihisap
tapi entahlah aku menikmati
sepertinya
kurang jelas.
Dalam sajak di atas nabila kembali mempertegas secara simbolis kebingungan yang dia alami. Nah justru di sini nabila melakukan ke-borosan bahasa, tapi entahlah aku menikmati
sepertinya
kurang jelas.
Saya pikir bait ini tidak perlu, sebab nabila sudah sangat tegas dalam semua semacam candu
disuntik
dihisap
candu dalam bait ini sudah bisa menjelaskan semua makna bait dalam puisi Entah, sebagai sebuah manifesto keseluruhan. Mengenai judul Entah, saya rasa nabila mencoba melakukan ekstrasi esensial puitik. Bagaimana kemudian judul menjadi sesuatu yang menjual.

Sebagai penutup, kepada Palestina Bila selalu lah berkarya tak peduli angin badai, hujan ribut, masakan gosong tetaplah berkarya sebab karya seperti anak. Sebuah kutipan terkenal dari Pramoedya “ menulislah sebab sepintar apapun orang dia tidak akan di kenang ketika dia tidak menulis”. Sedang kutipan dari saya (hehehe) “yang membedakan puisi dari pada karya sastra lain puisi adalah, tidak ada kata-kata yang sia dalam puisi”
Salam SasTradisi
M.Akid AH












Kamis, 13 Oktober 2011

Bicara Kebudayaan dan Kaum Muda

Catatan perjalanan #2
(Bukan Kesimpulan)
Kemarin tanggal 12 oktober saya  mengikuti sekaligus jadi moderator seminar nasional kebudayaan Nusantara.Bertempat di Hotel Matahari jl. Parang tritis yogyakarta dan di ikuti perwakilan mahasiswa se- Nusantara, ada kurang lebih 90 peserta kalo gak salah, gak ngitung soalnya. Seminar ini di adakan oelh IKPMD I yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pendidikan provinsi Yogyakarta. Acara berjalan seperti acara seminar yang lain, sangat tidak menarik bagi saya. Namun dalam ketidak menarikan ini saya menemukan sesuatu yang unik, mau tau?, silahkan baca paragraf berikutnya. Hehe..
 Kebetulan waktu itu ada empat daerah Minangkabau, Sulawesi selatan, Melayu dan Bima yang jadi tema utama. Nah kebetulan juga saya sedang mempelajari dan tertarik tentang kebudayaan minangkabau dan Makasar, Tuhan memang punya banyak kebetulan.
Bicara soal budaya bak menakar garam di laut, luar biasa luas tak ada habis apa lagi di Nusantara kita ini.  Perihal minangkabau saya begitu tertarik dengan budaya merantaunya sedangkan makasar dengan budaya ke-tegasan dan lepas badik-nya. Pendekatan bahasa yang sering saya gunakan untuk membaca ini, bagaimana kemudian bahasa dapat merangkai waktu dan ruang lampau. Nah sayangnya waktu kemarin pembicara tidak ada yang menggunakan pendekatan ini. Berikut ini beberapa peribahasa dari minang dan makasar :
MINANGKABAU
" Nan babarih nan bapaek, nan batakuak nan batabang. "
      Kayu yang akan dipahat ditandai terlebih dahulu,
      demikian pula pohon yang akan ditebang.
      Setiap yang dilakukan itu dirancang terlebih dahulu.
 PERBAHASA INI JUGA BERARTI BAHWA SESEORANG HARUS BERSIKAP, BERTINDAK
SESUAI DENGAN FUNGSI DAN PERANANNYA, SERTA ATURAN YANG BERLAKU. SEORANG
APARAT HUKUM, MISALNYA HARUS BERLAKU ADIL. TIBO DI MATO INDAK DIPICIANGKAN,
TIBO DI PARUIK INDAK DIKAMPIHKAN.

 " Mamacik padoman kami tidak, angin bakisa kami tau "
     Meskipun pendidikan kami rendah, kami tahu juga masalah
     yang akan terjadi.
 HAL INI MENUNJUKKAN KETINGGIAN HIKMAH YANG HARUS DIMILIKI OLEH SETIAP
ORANG MINANGKABAU. WALAU TINGKAT SDM KURANG MEMADAI, NAMUN HARUS TETAP ARIF
DAN BIJAK. TAKILEK IKAN DI LAUIK, LAH TANTU JANTAN BATINONYO.

 " Angan lalu paham tatumbuak. "
     Menurut perkiraan mungkin dapat dikerjakan, akan tetapi
     sukar terlaksanan (mungkin kekurangan dana, alat atau
     persayaratann lainnya)


 RUMAH TAMPAK, JALAN NDAK TANTU

 " Indak guruah diurang pakak, indak kilek diurang buto "
     Kiasan bagi orang yang tiada mengerti dengan sindiran.


 " Bajalan paliarokan kaki, bakato paliarokan lidah "

     Langkah yang salah dapat mengakibatkan kecelakaan,
     demikian pula dalam berkata-kata.

MAKASAR
"Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tamassaile punna teai labuang" (Makassar)
Bila perahu telah kudorong,layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.
"Taro ada taro gau" (Bugis)
Simpan kata simpan perbuatan.
Makna: Konsistensi perbuatan dengan apa yang telah dikatakan.
"Ku alleangi tallanga na toalia" (Makassar)
Lebih baik tenggelam dari pada kembali (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah berangkat melaut)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
"Eja pi nikana doang" (Makassar)
Seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya             
"Teai mangkasara’ punna bokona loko’." (Makassar)
Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Kesenian barongan, sesungguhnya kesenian hiburan rakyat


Baru saja tadi malam saya bersama adinda dan beberapa kawan rembang  mengunjungi monument perjuangan, tepatnya di nol kilometer Yogyakarta depan Gedung Agung ujung jalan Malioboro. Kedatangan kami ke sana  untuk nonton pentas Gelar Budaya Nusantara yang di ikuti kesenian daerah se-nusantara mewakili provinsi masing-masing. Sayangnya waktu kami tiba di sana hanya tinggal empat pentas, agak telat memang. Ya jogja di malam minggu sekarang macetnya serasa di jakarta, agaknya kota ini akan berganti iklim untuk beberapa tahun ke depan.
 
Ada pengalaman menarik di sini, dari beberapa pentas yang saya saksikan  justru saya lebih mengamati tepuk riuh penonton, baik ketika pentas itu mulai maupun di akhiri. Dari empat pentas yang sempat saya saksikan, pentas akhir sebelum penutup saya rasa justru mendapat tepuk riuh yang paling riuh dari penonton. Tari barongan dari Blora ternyata.

Terlepas saya sebagai orang jawa dan kebetulan pentas ini di jogja. Ternyata tabuhan gamelan jawa dengan hiruk pikuk gending dan polah penari barongan justru lebih bisa saya nikmati benar dari pada pentas yang lain. Tiada maksut membandingkan kesenian siapa yang lebih unggul, saya rasa penonton yang lain pun ikut terlena dengan suasana magis sekaligus meriah yang di bawa tari barongan. Ratusan kepala malam itu serasa ikut andil dalam panggung, begitu sinden di panggung teriak, seperti di komando para penonton pun mengikutinya dengan serentak. Satu garis lurus saya tarik dan ternyata saya pikir masyarakat sekarang yang mengatakan dirinya modern pun masih bisa terhibur dengan kesenian lama bahkan bisa di katakan dengan kesenian kuno ini.

Berbicara perihal kesenian Indonesia memang bukan perkara mudah, demikian juga saya. Kesenian Indonesia yang punya sejarah panjang dari mulai polemik politik kesenian sampai polemik bentuk kesenian itu sendiri dan sepertinya bukan kapasitas saya membicarakannya (yo ancen kid, hehehe). Tapi sebagai manusia Indonesia  yang tentu punya naluri seni dan budaya lebih tajam , logis bagi saya jika di katakan bahwa Kesenian akan mencapai esensinya jika sudah bisa menghibur penonton dengan se-begitunya. Dan malam tadi saya benar dengan sesungguhnya merasa terhibur sekali dengan pentas tari Barongan Blora.