LAIN

Minggu, 30 Maret 2014

MENGEMBALIKAN SASTRA KEPADA MASYARAKAT Kehidupan Sastra(-wan) Kafe, Malam Ngopinyastro


Pada malam hari itu sembilan pemuda duduk melingkar bersila. Sesekali mereka menyeruput cangkir-cangkir kopi. Beberapa di antara mereka bahkan juga menyantap makan malam yang terlambat. Kepulan kretek mengiringi pembicaraan dan diskusi mereka. Mereka tengah mendedah karya sastra. Bukan karya yang lahir dari para sastrawan terkenal memang, melainkan justru karya yang lahir dari masing-masing di antara mereka. Tidak semua dari para pemuda itu secara resmi belajar sastra pada perguruan tinggi. Beberapa di antara mereka ada yang belajar psikologi, filsafat, bahkan ada pula yang belajar sastra secara otodidak. Akan tetapi, mereka semua memilih sastra sebagai sebuah praksis hidup. Secara periodik mereka akan berkumpul, melingkar, berdiskusi perihal sastra, sambil menikmati secangkir kopi dan kretek dalam negeri.
Lingkaran itu menamai diri ‘Malam Ngopinyastro’. Para pemuda itu tidak berhenti pada tukar-menukar wacana dalam sebuah diskusi sastra, akan tetapi juga melakukan eksekusi sastra, yaitu pembacaan puisi, setiap sebulan sekali pada satu hari Rabu. Yang menarik dari lingkaran itu adalah bahwa mereka tidak membawa puisi ke atas mimbar sakral sastra seperti di gedung-gedung teater atau taman budaya, tetapi justru membawa puisi itu turun ke ‘pasar’. Mereka membaca puisi dari satu kafe ke kafe yang lain sembari mengajak pengunjung untuk menikmati puisi entah sebagai pendengar saja atau bahkan juga sebagai pembaca.
Sastra kafe semacam Malam Ngopinyastro itu sebenarnya bukan hal yang baru di dalam dunia sastra Yogyakarta. Malam Ngopinyastro bukanlah satu-satunya sastra kafe. Sebelumnya pada tahun 2010 di Yogyakarta ada MMPI (Mari Membaca Puisi Indonesia) yang membacakan puisi di Black Stone Cafe. Selain itu pada tahun 2012 di Djendelo Kafe, Jl. Afandi-Gejayan, muncul #SamuderaKata @puisiindojgj. Sedangkan pada pertengahan tahun 2013 ada Ruang Selasa Sastra di Zuparella Relo, Pring Wulung.
Malam Ngopinyastro sendiri lahir pada 1 Juni 2011 sebagai bagian integral Warung Kopi Bjong di Jl. Wahid Hasyim, Nologaten, Depok, Sleman, DIY. Pada mulanya, sekitar pertengahan Mei 2011, M. Akid Aunulhaq (pengopi Lelet, Mahasiswa Prodi Ilmu Filsafat UGM), Rabu Pagisyahbana (penyair yang kala itu masih merupakan pegawai Warkop Bjong), dan Roni Matuda (pemilik Warkop Bjong) bertemu semeja untuk membahas tentang ruang apresiasi musik dan sastra a la warung kopi. Rencananya ruang apresiasi tersebut akan diadakan setiap dua minggu sekali pada pukul 20.00 hingga 23.00 WIB; ruang apresiasi musik di Senin malam dan sastra di Rabu malam.
Tanggal 1 Juni 2011 merupakan malam di mana Malam Ngopinyastro yang pertama dieksekusi. Secara periodik Malam Ngopinyastro terus diadakan sebagai bagian integral dari acara Warkop Bjong. Pada akhir bulan Juli 2011, pada Malam Ngopinyastro V, Roni Matuda (pemilik Warkop Bjong) melepas Malam Ngopinyastro. Sejak saat itulah Malam Ngopinyastro menjadi kegiatan sastra yang berdikari, sehingga bisa menjadi milik semua warung kopi. Menindaklanjuti kemerdekaan yang dianugerahkan oleh sang pemilik Warkop Bjong, Malam Ngopinyastro mulai mengambil mode roads to cafe, berkelana menawarkan dan membacakan sastra (baca: puisi) dari satu kafe ke kafe lain. Sejak saat itu Malam Ngopinyastro diadakan sebulan sekali. Sebualan di Bjong, sebulan di kafe-kafe lain, seperti misalnya D’warung Ugd (kafe belakang UII Ekonomi, Condong Catur), Kedai Nagata di Nologaten, bahkan pernah sekali mengambil lokasi di emperan parkir UAD Kampus II Fakultas Psikologi. Walaupun berkelana dari satu kafe ke kafe lain, bahkan tidak menutup kemungkinan mengadakan pembacaan di kampus-kampus, mayoritas eksekusi pembacaan puisi Malam Ngopinyastro tetap dilakukan di Warkop Bjong. Pada saat itu Malam Ngopinyastro belum menjadi sebuah komunitas. Para pemuda itu duduk melingkar dan disatukan oleh sastra (khususnya puisi). Itu saja. Belum ada struktur organisasi yang jelas.
“Kawan-kawan di sini, hanya kepingin mencoba tumbuh dengan wajar. Menguji mentalitas bersastra di luar ruangan,” ungkap Drajat T. Jatmiko (Presdir Komunitas Malam Ngopinyastro sekarang).
Para pemuda itu mencoba menelaah dan membaca puisi tidak di tempat sakral sastra seperti mimbar sastra, gedung teater, atau taman budaya. Mereka mencoba menawarkan puisi kepada para penikmat kopi. Para penikmat kopi itu tentu memiliki berbagai latar belakang dan tentu tidak semua dari mereka menaruh perhatian kepada dunia sastra. Ini adalah sebuah usaha mengembalikan puisi dan penyair kepada masyarakat yang selama ini memandang puisi dan para penyairnya sebagai suatu dunia yang jauh dan asing, terlebih ketika dua unsur itu berada di tengah ruang sakral sastra seperti yang disebut di atas.
Layaknya kafe atau warung kopi pada umumnya, para pengunjung bisa sepenuhnya leluasa memilih meja kosong dan tempat duduk. Mereka bisa saling membuka dan berbagi obrolan ringan, memesan kudapan dan/atau minuman yang terlulis pada menu. Tanpa ada perasaan pekewuh, soal perbedaan latar belakang pendidikan, disiplin ilmu, jarak usia, serta kecenderungan sosial lainnya mereka berbaur. Mereka bertukar bicara, bercerita, berdiskusi, mencurahkan isi hati dan kepala, lalu tertawa, sambil sesekali tanpa ragu mengucapkan makian sebagai tanda keakraban. Kemudian, dua orang relawan Malam Ngopinyastro dengan membawa setumpuk buku, secarik kertas, dan bolpoin terselip mendekati mereka. Dua relawan itu layaknya seorang sales promotion sebuah produk, tetapi kali itu produk yang mereka tawarkan adalah puisi, bukan untuk dibeli, melainkan untuk dibacakan. Satu per satu meja pengunjung warung kopi mereka hampiri.
“Maaf bisa minta waktunya sebentar?” ujar seorang relawan membuka percakapan, “Sekiranya ada yang berminat menjadi dermawan bahasa, atau ingin membacakan puisi karya sendiri? Bila tidak ada atau mungkin lupa membawa puisi, ini kami ada beberapa buku kumpulan puisi. Mari, silahkan dipilih.” Sembari memberi sedikit informasi mengenai buku-buku yang ditawarkan, seorang relawan lain dengan bolpoinnya mencatati nama-nama para pengunjng yang tertarik untuk mendermawankan dirinya. Ya, boleh jadi di kafe atau warung kopi, semua orang yang datang berkunjung tercatat sebagai tamu dan sama terhitung layaknya sebuah ungkapan, bahwa tamu adalah raja.
“Biarpun acara sastra, akan tetapi kafe tetap sepenuhnya kafe,” tutur Bung Akid. “Target utamanya adalah masyarakat peminum kopi itu sendiri. Penyair bisa membacakan puisi di mana saja. Karena, akan menjadi sebuah kekeliruan, bila kafe diubah sebagai mimbar sastra pada umumnya. Di sini, siapapun, bahkan seorang penyair kondang kudu siap tidak menjadi siapa-siapa. Sebab, ini warung kopi.”
Selepas malam pembacaan puisi di warung kopi tersebut, para relawan Malam Ngopinyastro akan melingkar di warung kopi yang lain pada malam yang lain pula untuk berdiskusi, membedah, dan menelaah sastra, serta berbagi teori tentang sastra serta disiplin-disiplin ilmu lain yang berkaitan erat dengan dunia sastra (psikologi, sejarah, filsafat, sosial-politik, dsb.). Lingkaran mereka pun dari waktu ke waktu semakin besar saja. Pada mulanya hanya ada Bung Akid dan Bung Rabu, kini lingkaran itu membesar hingga menjadi sembilan orang. Malam Ngopinyastro adalah taman terbuka diskusi dan eksekusi sastra lintas komunitas, bahkan terbuka juga bagi mereka yang tidak memiliki komunitas. Di luar lingkaran Malam Ngopinyastro itu terdapat komunitas-komunitas dan individu-individu yang selalu setia menghadiri malam pembacaan Malam Ngopinyastro di manapun itu diadakan. Komunitas-komunitas itu antara lain ada Retorika dan Vena Teatrika dari UGM, Koin dari UII Ekonomi, IST Akprind ada Sanggar 28 “TERKAM”, UNY ada tetaer Misbah dan Sangkala, dari STIE YKPN ada Teater Keboen Tebu, dari UAD Psikologi ada Teater Roeang 28, Teater Seriboe Djendela dari Universitas Sanata Dharma, Teater ESKA dari UIN, dari UMY ada Teater Tangga, dari Universitas Atma Jaya ada Teater Lilin, dsb.
Sejak Malam Ngopinyastro XVIII (Juli 2013), Malam Ngopinyastro menjelma menjadi sebuah komunitas sastra dengan struktur yang jelas. Ada presiden direktur di sana, sekretaris, bendahara, kepustakaan, departemen usaha, publikasi dan dokumentasi, departemen pertunjukan, dan departemen akademis. Kini Malam Ngopinyastro semakin menjadi hegemoni tandingan atas sastra di atas mimbar. Namun, bukan berarti mengubah warung kopi menjadi mimbar sastra. Warung kopi tetaplah warung kopi. Hanya saja, pengunjung boleh menikmati atau bahkan turut serta membaca puisi. Sastra tidak harus berada di atas menara gading, mimbar sastra, akan tetapi jangan sampai sastra justru menjajah warung kopi. Di antara dua kutub tegangan inilah Malam Ngopinyastro hidup.


*Mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma dan penyair bebas.

Panggung, Puisi dan Generasi

Disampaikan pada bedah Buku Puisi PROSENIUM Teater ESKA Jogjakarta

Sebelum menyimak antologi puisi “Prosenium” ini saya berusaha membayangkan seperti berada di sanggar teater ESKA dan memasuki kehidupan kreatifnya. Seperti ketika saya mendengar teater ESKA maka yang muncul dalam kepala saya adalah panggung, teater dan puisi sufi. Tapi buru-buru saya harus mencegah pikiran ini untuk tidak “menyesal”. Bukankah teater ESKA juga memiliki waktu, generasi dan ruang tumbuh berbeda dari tahun ke tahun sekaligus proses kreatif berbeda yang mewarnainya.
Membaca “prosenium” ini saya semacam dibawa kedalam dunia panggung drama. Tragedi, cinta, rindu, dendam diramu sedemikian sahdan. Jikalau “Prosenium” sebuah pertunjukan, sebagai penonton saya terkesan dengannya. Sebuah pertunjukan yang memberikan sesuatu (apapun itu) kepada penontonnya.
Seperti sebuah pertunjukan, sebagai penonton saya akan punya kecenderungan menuntut lebih. Menimbang adegan demi adegan lalu menyusun asumsi sebagai sebuah kecurigaan, saya mendapati kecurigaan itu juga dalam “Prosenium” ini. semoga ini sekedar kecurigaan saya, setidaknya ketika melepas “menuntut lebih”itu, antologi Prosenium ini bisa terbaca dan menarik.
Layaknya sebuah panggung pertunjukan, penyair dalam kitab puisi ini memliki peran masing-masing. Ada yang menjadi aktor, artistik, lighting dsbt. Panggung yang memiliki rupa-rupa cerita, bagi Abdul Qodir al-Amin dan Ghoz. TE panggung adalah dirinya, taman, kesunyian dan jatuh cinta. Lain bagi Bernando J. Sujibto panggung merupakan pertemuan, perpisahan, persahabatan dan petualangan pikir. Panggung bagi Jean faozan dan M. Toyu Aradana adalah kampung halaman, rindu dan kenangan masa kecil. Bagi Nazil Using dan Usanna Tayuman panggung adalah pengalaman-pengalaman tragedik. Sedang Shohifur Ridho Ilahi dan Mahendra bagi mereka panggung adalah tubuh dan tubuh adalah panggung.


Bahasa dan Ruang Makna Puisi
“Bahwa untuk dapat memberi makna karya sastra, bahasa merupakan prioritas utama yang harus dikuasai”
A. Teeuw
Dalam semacam pengantar kitab puisi “Prosenium” ini Mas Otto Sukatno CR menulis. “ Karena puisi sebagai ekspresi neurotic, maka sebaiknya setiap kehadiran puisi,apapun bentuk dan tema masalahnya, siapapun pembuatnya, dan bagaimana pun kualitasnya, mereka tidak “perlu dinilai”. Tetapi harus dihargai dan dimaknai”. Saya cenderung sepakat dengan pendapat ini tapi persoalannya kemudian untuk sampai kepada “pemaknaan” puisi, bahasa menjadi alat utama.
Puisi dalam satu sisi mengusung realitas dan pada sisi lain mengandung reaksi terhadapnya ( hal lain yang ditawarkan). Menjadi mudah ketika menulis realitas lazim, namun menjadi sangat susah ketika menuliskan respon atas realitas tersebut. Dalam kita puisi ini, kebanyakan penyair mengusung realitas lazim dalam batin mereka. Meski beberapa mencoba menuliskan respon atas realitas dengan bahasa puisi yang dibangun dan berhasil. Kalau boleh saya katakan, masing-masing penyair menulis puisi untuk wilayah pribadi- sebagai tahap mulanya-
Pertama adalah bagaimana menyampaikan apa yang dialami atau dirasakan penyair itu (dunia dalam) kepada pembaca (dunia luar). Karena dunia umum memiliki banyak variabel dan kemungkinan. Pada saat itulah penyair memerlukan bahasa. Sebagai penyair harus menguasai bahasa agar dapat memberikan makna kata dalam teks puisinya. kedua adalah bagaimana memilih kata atau diksi yang sesuai(karena kata adalah roh puisi). Dalam tahap inilah menulis puisi menjadi terasa susah, puisi sebagai respon atas kepekaan penyair dalam membaca objek yang ada disekitarnya atau kenyataan yang dialaminya.
Kepekaan itu tidak datang dengan sendirinya tapi membutuhkan proses yang panjang. Namun, akan menjadi mudah jika hanya menuliskan apa yang dirasakan dengan kata-kata indah saja tanpa memikirkan adanya reaksi atas apa yang terjadi. Ruang terbatas pada puisi, membuat kata-kata yang dibangun mempunyai beban untuk menyampaikan pengertian atau makna
Seorang penyair tidak secara tiba-tiba menulis puisi, meski momen menulisnya bisa tiba-tiba datang begitu saja. Banyak fase dan pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri, sebelum berhadapan dengan pena dan kertas. Keutuhan bangunan teks puitik hanya akan terjadi jika struktur pembangun puisi yang digunakan sudah dalam proporsi  yang tepat (kata) sebagai wujud dari kematangan berbahasa penyairnya.
Stuktur karya sastra (puisi) seperti bahasa, fantasi, plot, realitas, pengalaman dsb, harus disajikan secara utuh dan tidak bertentangan dengan logika. Setidaknya logika sangat penting karena puisi harus bisa dipertanggung jawabkan, minimal logika yang dibangun.  Dianggap penting karena pembaca selalu menuntut penyair agar karyanya yang imajinatif sesuai dengan realitas kehidupan. Karena penyair bukan sekedar penulis tapi juga pembangun.
Proses perjalanan panjang dalam menerbitkan kitab puisi“Prosenium”, menunjukkan bahwa para penulisnya membutuhkan proses kreatif dalam kepenulisan. Sebagian berhasil menjadi karya yang utuh dan sebagian lagi membutuhkan proses yang lebih panjang karena dianggap “gagal” dalam tanda kutip. Kegagalan pertama yang dialami oleh penyair dalam membangun bahasa, menghadirkan realitas tertentu dan gagasannya. Dalam menyampaikan gagasan kedalam karyanya, antara penyair yang satu dengan yang lain menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Hal ini tidak lepas dari pribadi itu sendiri yang mempengaruhinya. Dalam kitab puisi ini semua akan sepakat jika keragaman bahasa penulisan mereka berbeda-beda.

Karya sastra selanjutnya berada ditangan pembaca, puisi-puisi didalam kitab puisi ini akan membuktikan dirinya masing-masing ditangan pembaca, Apakah ia akan mati atau terus dihidupi.
Terakhir selamat kepada kawan-kawan penyair yang ada dalam kitab puisi ini.

Akid A.H
Pembaca puisi warung kopi, Pegiat Komunitas Ngopinyastro