LAIN

Jumat, 23 November 2012

Laut dan Seorang Perempuan


Demikian jika jaring dan ikan-ikan bercakap mengenai Bulan yang bulat tepat di tengah bulan yang sinarnya melebihi gegap gempita gemintang beralaskan lautan jawa dalam cahayanya sampai dasar. di seberang sana:
Beralas pasir berteduh malam, diantara wajah-wajah gurau. Perempuan itu terkantuk-kantuk di buai angin Bonang. Aku sedari tadi terpekur di gelas kopi, di rimba kata-kata penyair masa kini.

Laut dan perempuan itu, puisi :

Ia berjalan dari sauk ke sauk memungut garam mengepul hidup.  berjalan dari kota ke kota rimba  kata makna.

Sungguh sesungguhnya kau, Laut dan seorang Perempuan puisi di jantungku.


 Muhammad Akid AHA, Lelaki penyuka puisi
Yogyakarta, 2012

“Ngelmu kuwi kanti laku, laku kuwi kanti guru”


 “Ngelmu kuwi kanti laku, laku kuwi kanti guru” salah satu unen-unen atau peribahasa jawa yang kurang lebih dalam bahasa indonesia berarti ilmu itu dengan tindakan dan tindakan berdasarkan guru. Dalam sudut pandang peribahasa ini, fenomena transfer of saint dalam ruang jawa bukanlah literasi akademik seperti halnya budaya barat, tetapi dengan berguru. Melihat secara langsung tindakan guru dan menirunya, dengan cara dan adat tertentu yang spesifik.
 Contoh paling real dalam hal ini bisa di lihat dalam padepokan persilatan misalnya. Dalam pengajarannya siswa hanya di beri petunjuk langsung oleh guru, tidak ada bacaan atau refrensi yang harus siswa baca. Tidak hanya jurus-jurus silat melainkan filosofi dan daya budi di ajarkan ke siswa dalam bentuk tutur dan laku. Contoh lainnya dalam pondok pesantren yang tumbuh kembangnya sudah ratusan tahun di jawa, walaupun bentuk pondok pesantren adalah adaptasi dari metode pendidikan islam di timur tengah, pondok pesantren di jawa sama sekali beda. Metode tutur dan laku tetap di gunakan dalam pondok pesantren di jawa karena memang sesuai akar tradisi jawa itu sendiri.
 Tidak heran kiranya literasi tidak menjadi begitu penting dalam dunia jawa. Bahwa saint adalah konteks kehidupan itu sendiri dan kehidupan adalah manifestasi dari saint. Tradisi ini menjadi hebat menurut saya, ketika value dalam metode ini di pertahankan secara spesifik kendati ketika ada eror sistem maka akan menjadi tidak spesifik, bencana alam atau perang misalnya.
Dalam konteks kekinian dimana pendidikan di dominasi oleh lembaga formal yang merujuk kepada tradisi akademia barat metode budi dan laku menjadi tidak populer. Ataupun ketika di pertahankan, value menjadi tidak spesifik lagi karena minor. Arus formal oriented menjadi budaya pop yang menggejala hampir di semua lini masyarakat (mayor). Kerinduan terhadap tokoh panutan yang nyata atau dalam tradisi jawa di sebut Ratu Adil menjadi aforisme tanpa ada gejala-gejala besar dalam tindakan untuk mewujudkannya, meskipun tidak menutup adanya gejala kecil. Menurut saya ini lah yang menyebabkan kita jadi minim tokoh, masyarakat menjadi bingung mengikuti siapa. Sebab memang tradisi keilmuan orang jawa adalah melihat dan melakukan, sedang sekarang siapa Ratu Adil itu? Yang seharusnya menjadi Guru yang bisa di cecap ilmu budinya.
 Einsten dalam biografinya, dia hanya mengecap sedikit saja pendidikan formal tapi dia cukup mengamati secara nyata segala sesuatu di sekitarnya, mengolahnya dengan akal dan semua jadi saint di matanya. Bapak para filusuf, aristoteles juuga demikian. Para penemu ini menggunakan metode pendidikan yang mirip dengan ala jawa, bukan otak atik menyamakan juga bukan apologia.

Muhammad Akid AHA
Laki-laki penyuka puisi, tinggal di jogja.