Disampaikan pada bedah Buku Puisi PROSENIUM Teater ESKA Jogjakarta
Sebelum menyimak
antologi puisi “Prosenium” ini saya berusaha membayangkan seperti berada di
sanggar teater ESKA dan memasuki kehidupan kreatifnya. Seperti ketika saya
mendengar teater ESKA maka yang muncul dalam kepala saya adalah panggung,
teater dan puisi sufi. Tapi buru-buru saya harus mencegah pikiran ini untuk
tidak “menyesal”. Bukankah teater ESKA juga memiliki waktu, generasi dan ruang
tumbuh berbeda dari tahun ke tahun sekaligus proses kreatif berbeda yang
mewarnainya.
Membaca
“prosenium” ini saya semacam dibawa kedalam dunia panggung drama. Tragedi,
cinta, rindu, dendam diramu sedemikian sahdan. Jikalau “Prosenium” sebuah
pertunjukan, sebagai penonton saya terkesan dengannya. Sebuah pertunjukan yang
memberikan sesuatu (apapun itu) kepada penontonnya.
Seperti sebuah
pertunjukan, sebagai penonton saya akan punya kecenderungan menuntut lebih.
Menimbang adegan demi adegan lalu menyusun asumsi sebagai sebuah kecurigaan,
saya mendapati kecurigaan itu juga dalam “Prosenium” ini. semoga ini sekedar
kecurigaan saya, setidaknya ketika melepas “menuntut lebih”itu, antologi
Prosenium ini bisa terbaca dan menarik.
Layaknya sebuah
panggung pertunjukan, penyair dalam kitab puisi ini memliki peran
masing-masing. Ada yang menjadi aktor, artistik, lighting dsbt. Panggung yang
memiliki rupa-rupa cerita, bagi Abdul Qodir al-Amin dan Ghoz. TE panggung
adalah dirinya, taman, kesunyian dan jatuh cinta. Lain bagi Bernando J. Sujibto
panggung merupakan pertemuan, perpisahan, persahabatan dan petualangan pikir.
Panggung bagi Jean faozan dan M. Toyu Aradana adalah kampung halaman, rindu dan
kenangan masa kecil. Bagi Nazil Using dan Usanna Tayuman panggung adalah
pengalaman-pengalaman tragedik. Sedang Shohifur Ridho Ilahi dan Mahendra bagi
mereka panggung adalah tubuh dan tubuh adalah panggung.
Bahasa dan Ruang
Makna Puisi
“Bahwa
untuk dapat memberi makna karya sastra, bahasa merupakan prioritas utama yang
harus dikuasai”
A.
Teeuw
Dalam semacam
pengantar kitab puisi “Prosenium” ini Mas Otto Sukatno CR menulis. “ Karena
puisi sebagai ekspresi neurotic, maka sebaiknya setiap kehadiran puisi,apapun
bentuk dan tema masalahnya, siapapun pembuatnya, dan bagaimana pun kualitasnya,
mereka tidak “perlu dinilai”. Tetapi harus dihargai dan dimaknai”. Saya cenderung
sepakat dengan pendapat ini tapi persoalannya kemudian untuk sampai kepada
“pemaknaan” puisi, bahasa menjadi alat utama.
Puisi dalam satu
sisi mengusung realitas dan pada sisi lain mengandung reaksi terhadapnya ( hal
lain yang ditawarkan). Menjadi mudah ketika menulis realitas lazim, namun
menjadi sangat susah ketika menuliskan respon atas realitas tersebut. Dalam
kita puisi ini, kebanyakan penyair mengusung realitas lazim dalam batin mereka.
Meski beberapa mencoba menuliskan respon atas realitas dengan bahasa puisi yang
dibangun dan berhasil. Kalau boleh saya katakan, masing-masing penyair menulis
puisi untuk wilayah pribadi- sebagai tahap mulanya-
Pertama adalah
bagaimana menyampaikan apa yang dialami atau dirasakan penyair itu (dunia
dalam) kepada pembaca (dunia luar). Karena dunia umum memiliki banyak variabel
dan kemungkinan. Pada saat itulah penyair memerlukan bahasa. Sebagai penyair
harus menguasai bahasa agar dapat memberikan makna kata dalam teks puisinya.
kedua adalah bagaimana memilih kata atau diksi yang sesuai(karena kata adalah roh
puisi). Dalam tahap inilah menulis puisi menjadi terasa susah, puisi sebagai
respon atas kepekaan penyair dalam membaca objek yang ada disekitarnya atau
kenyataan yang dialaminya.
Kepekaan itu
tidak datang dengan sendirinya tapi membutuhkan proses yang panjang. Namun,
akan menjadi mudah jika hanya menuliskan apa yang dirasakan dengan kata-kata
indah saja tanpa memikirkan adanya reaksi atas apa yang terjadi. Ruang terbatas
pada puisi, membuat kata-kata yang dibangun mempunyai beban untuk menyampaikan
pengertian atau makna
Seorang penyair
tidak secara tiba-tiba menulis puisi, meski momen menulisnya bisa tiba-tiba
datang begitu saja. Banyak fase dan pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri,
sebelum berhadapan dengan pena dan kertas. Keutuhan bangunan teks puitik hanya
akan terjadi jika struktur pembangun puisi yang digunakan sudah dalam
proporsi yang tepat (kata) sebagai wujud dari kematangan berbahasa
penyairnya.
Stuktur karya
sastra (puisi) seperti bahasa, fantasi, plot, realitas, pengalaman dsb, harus
disajikan secara utuh dan tidak bertentangan dengan logika. Setidaknya logika
sangat penting karena puisi harus bisa dipertanggung jawabkan, minimal logika
yang dibangun. Dianggap penting karena pembaca selalu menuntut penyair
agar karyanya yang imajinatif sesuai dengan realitas kehidupan. Karena penyair
bukan sekedar penulis tapi juga pembangun.
Proses
perjalanan panjang dalam menerbitkan kitab puisi“Prosenium”, menunjukkan bahwa
para penulisnya membutuhkan proses kreatif dalam kepenulisan. Sebagian berhasil
menjadi karya yang utuh dan sebagian lagi membutuhkan proses yang lebih panjang
karena dianggap “gagal” dalam tanda kutip. Kegagalan pertama yang dialami oleh
penyair dalam membangun bahasa, menghadirkan realitas tertentu dan gagasannya.
Dalam menyampaikan gagasan kedalam karyanya, antara penyair yang satu dengan
yang lain menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Hal ini tidak lepas dari
pribadi itu sendiri yang mempengaruhinya. Dalam kitab puisi ini semua akan
sepakat jika keragaman bahasa penulisan mereka berbeda-beda.
Karya sastra
selanjutnya berada ditangan pembaca, puisi-puisi didalam kitab puisi ini akan
membuktikan dirinya masing-masing ditangan pembaca, Apakah ia akan mati atau
terus dihidupi.
Terakhir selamat
kepada kawan-kawan penyair yang ada dalam kitab puisi ini.
Akid A.H
Pembaca puisi warung kopi, Pegiat Komunitas
Ngopinyastro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar