LAIN

Minggu, 30 Maret 2014

Panggung, Puisi dan Generasi

Disampaikan pada bedah Buku Puisi PROSENIUM Teater ESKA Jogjakarta

Sebelum menyimak antologi puisi “Prosenium” ini saya berusaha membayangkan seperti berada di sanggar teater ESKA dan memasuki kehidupan kreatifnya. Seperti ketika saya mendengar teater ESKA maka yang muncul dalam kepala saya adalah panggung, teater dan puisi sufi. Tapi buru-buru saya harus mencegah pikiran ini untuk tidak “menyesal”. Bukankah teater ESKA juga memiliki waktu, generasi dan ruang tumbuh berbeda dari tahun ke tahun sekaligus proses kreatif berbeda yang mewarnainya.
Membaca “prosenium” ini saya semacam dibawa kedalam dunia panggung drama. Tragedi, cinta, rindu, dendam diramu sedemikian sahdan. Jikalau “Prosenium” sebuah pertunjukan, sebagai penonton saya terkesan dengannya. Sebuah pertunjukan yang memberikan sesuatu (apapun itu) kepada penontonnya.
Seperti sebuah pertunjukan, sebagai penonton saya akan punya kecenderungan menuntut lebih. Menimbang adegan demi adegan lalu menyusun asumsi sebagai sebuah kecurigaan, saya mendapati kecurigaan itu juga dalam “Prosenium” ini. semoga ini sekedar kecurigaan saya, setidaknya ketika melepas “menuntut lebih”itu, antologi Prosenium ini bisa terbaca dan menarik.
Layaknya sebuah panggung pertunjukan, penyair dalam kitab puisi ini memliki peran masing-masing. Ada yang menjadi aktor, artistik, lighting dsbt. Panggung yang memiliki rupa-rupa cerita, bagi Abdul Qodir al-Amin dan Ghoz. TE panggung adalah dirinya, taman, kesunyian dan jatuh cinta. Lain bagi Bernando J. Sujibto panggung merupakan pertemuan, perpisahan, persahabatan dan petualangan pikir. Panggung bagi Jean faozan dan M. Toyu Aradana adalah kampung halaman, rindu dan kenangan masa kecil. Bagi Nazil Using dan Usanna Tayuman panggung adalah pengalaman-pengalaman tragedik. Sedang Shohifur Ridho Ilahi dan Mahendra bagi mereka panggung adalah tubuh dan tubuh adalah panggung.


Bahasa dan Ruang Makna Puisi
“Bahwa untuk dapat memberi makna karya sastra, bahasa merupakan prioritas utama yang harus dikuasai”
A. Teeuw
Dalam semacam pengantar kitab puisi “Prosenium” ini Mas Otto Sukatno CR menulis. “ Karena puisi sebagai ekspresi neurotic, maka sebaiknya setiap kehadiran puisi,apapun bentuk dan tema masalahnya, siapapun pembuatnya, dan bagaimana pun kualitasnya, mereka tidak “perlu dinilai”. Tetapi harus dihargai dan dimaknai”. Saya cenderung sepakat dengan pendapat ini tapi persoalannya kemudian untuk sampai kepada “pemaknaan” puisi, bahasa menjadi alat utama.
Puisi dalam satu sisi mengusung realitas dan pada sisi lain mengandung reaksi terhadapnya ( hal lain yang ditawarkan). Menjadi mudah ketika menulis realitas lazim, namun menjadi sangat susah ketika menuliskan respon atas realitas tersebut. Dalam kita puisi ini, kebanyakan penyair mengusung realitas lazim dalam batin mereka. Meski beberapa mencoba menuliskan respon atas realitas dengan bahasa puisi yang dibangun dan berhasil. Kalau boleh saya katakan, masing-masing penyair menulis puisi untuk wilayah pribadi- sebagai tahap mulanya-
Pertama adalah bagaimana menyampaikan apa yang dialami atau dirasakan penyair itu (dunia dalam) kepada pembaca (dunia luar). Karena dunia umum memiliki banyak variabel dan kemungkinan. Pada saat itulah penyair memerlukan bahasa. Sebagai penyair harus menguasai bahasa agar dapat memberikan makna kata dalam teks puisinya. kedua adalah bagaimana memilih kata atau diksi yang sesuai(karena kata adalah roh puisi). Dalam tahap inilah menulis puisi menjadi terasa susah, puisi sebagai respon atas kepekaan penyair dalam membaca objek yang ada disekitarnya atau kenyataan yang dialaminya.
Kepekaan itu tidak datang dengan sendirinya tapi membutuhkan proses yang panjang. Namun, akan menjadi mudah jika hanya menuliskan apa yang dirasakan dengan kata-kata indah saja tanpa memikirkan adanya reaksi atas apa yang terjadi. Ruang terbatas pada puisi, membuat kata-kata yang dibangun mempunyai beban untuk menyampaikan pengertian atau makna
Seorang penyair tidak secara tiba-tiba menulis puisi, meski momen menulisnya bisa tiba-tiba datang begitu saja. Banyak fase dan pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri, sebelum berhadapan dengan pena dan kertas. Keutuhan bangunan teks puitik hanya akan terjadi jika struktur pembangun puisi yang digunakan sudah dalam proporsi  yang tepat (kata) sebagai wujud dari kematangan berbahasa penyairnya.
Stuktur karya sastra (puisi) seperti bahasa, fantasi, plot, realitas, pengalaman dsb, harus disajikan secara utuh dan tidak bertentangan dengan logika. Setidaknya logika sangat penting karena puisi harus bisa dipertanggung jawabkan, minimal logika yang dibangun.  Dianggap penting karena pembaca selalu menuntut penyair agar karyanya yang imajinatif sesuai dengan realitas kehidupan. Karena penyair bukan sekedar penulis tapi juga pembangun.
Proses perjalanan panjang dalam menerbitkan kitab puisi“Prosenium”, menunjukkan bahwa para penulisnya membutuhkan proses kreatif dalam kepenulisan. Sebagian berhasil menjadi karya yang utuh dan sebagian lagi membutuhkan proses yang lebih panjang karena dianggap “gagal” dalam tanda kutip. Kegagalan pertama yang dialami oleh penyair dalam membangun bahasa, menghadirkan realitas tertentu dan gagasannya. Dalam menyampaikan gagasan kedalam karyanya, antara penyair yang satu dengan yang lain menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Hal ini tidak lepas dari pribadi itu sendiri yang mempengaruhinya. Dalam kitab puisi ini semua akan sepakat jika keragaman bahasa penulisan mereka berbeda-beda.

Karya sastra selanjutnya berada ditangan pembaca, puisi-puisi didalam kitab puisi ini akan membuktikan dirinya masing-masing ditangan pembaca, Apakah ia akan mati atau terus dihidupi.
Terakhir selamat kepada kawan-kawan penyair yang ada dalam kitab puisi ini.

Akid A.H
Pembaca puisi warung kopi, Pegiat Komunitas Ngopinyastro



Tidak ada komentar:

Posting Komentar