Pada
malam hari itu sembilan pemuda duduk melingkar bersila. Sesekali mereka
menyeruput cangkir-cangkir kopi. Beberapa di antara mereka bahkan juga menyantap
makan malam yang terlambat. Kepulan kretek mengiringi pembicaraan dan diskusi
mereka. Mereka tengah mendedah karya sastra. Bukan karya yang lahir dari para
sastrawan terkenal memang, melainkan justru karya yang lahir dari masing-masing
di antara mereka. Tidak semua dari para pemuda itu secara resmi belajar sastra
pada perguruan tinggi. Beberapa di antara mereka ada yang belajar psikologi,
filsafat, bahkan ada pula yang belajar sastra secara otodidak. Akan tetapi,
mereka semua memilih sastra sebagai sebuah praksis hidup. Secara periodik
mereka akan berkumpul, melingkar, berdiskusi perihal sastra, sambil menikmati
secangkir kopi dan kretek dalam negeri.
Lingkaran
itu menamai diri ‘Malam Ngopinyastro’. Para pemuda itu tidak berhenti pada
tukar-menukar wacana dalam sebuah diskusi sastra, akan tetapi juga melakukan
eksekusi sastra, yaitu pembacaan puisi, setiap sebulan sekali pada satu hari
Rabu. Yang menarik dari lingkaran itu adalah bahwa mereka tidak membawa puisi
ke atas mimbar sakral sastra seperti di gedung-gedung teater atau taman budaya,
tetapi justru membawa puisi itu turun ke ‘pasar’. Mereka membaca puisi dari
satu kafe ke kafe yang lain sembari mengajak pengunjung untuk menikmati puisi
entah sebagai pendengar saja atau bahkan juga sebagai pembaca.
Sastra
kafe semacam Malam Ngopinyastro itu sebenarnya bukan hal yang baru di dalam
dunia sastra Yogyakarta. Malam Ngopinyastro bukanlah satu-satunya sastra kafe.
Sebelumnya pada tahun 2010 di Yogyakarta ada MMPI (Mari Membaca Puisi
Indonesia) yang membacakan puisi di Black Stone Cafe. Selain itu pada tahun
2012 di Djendelo Kafe, Jl. Afandi-Gejayan, muncul #SamuderaKata @puisiindojgj.
Sedangkan pada pertengahan tahun 2013 ada Ruang Selasa Sastra di Zuparella
Relo, Pring Wulung.
Malam
Ngopinyastro sendiri lahir pada 1 Juni 2011 sebagai bagian integral Warung Kopi
Bjong di Jl. Wahid Hasyim, Nologaten, Depok, Sleman, DIY. Pada mulanya, sekitar
pertengahan Mei 2011, M. Akid Aunulhaq (pengopi Lelet, Mahasiswa Prodi Ilmu
Filsafat UGM), Rabu Pagisyahbana (penyair yang kala itu masih merupakan pegawai
Warkop Bjong), dan Roni Matuda (pemilik Warkop Bjong) bertemu semeja untuk
membahas tentang ruang apresiasi musik dan sastra a la warung kopi. Rencananya ruang apresiasi tersebut akan diadakan
setiap dua minggu sekali pada pukul 20.00 hingga 23.00 WIB; ruang apresiasi
musik di Senin malam dan sastra di Rabu malam.
Tanggal
1 Juni 2011 merupakan malam di mana Malam Ngopinyastro yang pertama dieksekusi.
Secara periodik Malam Ngopinyastro terus diadakan sebagai bagian integral dari
acara Warkop Bjong. Pada akhir bulan Juli 2011, pada Malam Ngopinyastro V, Roni
Matuda (pemilik Warkop Bjong) melepas Malam Ngopinyastro. Sejak saat itulah
Malam Ngopinyastro menjadi kegiatan sastra yang berdikari, sehingga bisa
menjadi milik semua warung kopi. Menindaklanjuti kemerdekaan yang dianugerahkan
oleh sang pemilik Warkop Bjong, Malam Ngopinyastro mulai mengambil mode roads to cafe, berkelana menawarkan dan
membacakan sastra (baca: puisi) dari satu kafe ke kafe lain. Sejak saat itu
Malam Ngopinyastro diadakan sebulan sekali. Sebualan di Bjong, sebulan di
kafe-kafe lain, seperti misalnya D’warung Ugd (kafe belakang UII Ekonomi,
Condong Catur), Kedai Nagata di Nologaten, bahkan pernah sekali mengambil
lokasi di emperan parkir UAD Kampus II Fakultas Psikologi. Walaupun berkelana
dari satu kafe ke kafe lain, bahkan tidak menutup kemungkinan mengadakan
pembacaan di kampus-kampus, mayoritas eksekusi pembacaan puisi Malam
Ngopinyastro tetap dilakukan di Warkop Bjong. Pada saat itu Malam Ngopinyastro
belum menjadi sebuah komunitas. Para pemuda itu duduk melingkar dan disatukan
oleh sastra (khususnya puisi). Itu saja. Belum ada struktur organisasi yang
jelas.
“Kawan-kawan
di sini, hanya kepingin mencoba
tumbuh dengan wajar. Menguji mentalitas bersastra di luar ruangan,” ungkap
Drajat T. Jatmiko (Presdir Komunitas Malam Ngopinyastro sekarang).
Para
pemuda itu mencoba menelaah dan membaca puisi tidak di tempat sakral sastra
seperti mimbar sastra, gedung teater, atau taman budaya. Mereka mencoba
menawarkan puisi kepada para penikmat kopi. Para penikmat kopi itu tentu
memiliki berbagai latar belakang dan tentu tidak semua dari mereka menaruh
perhatian kepada dunia sastra. Ini adalah sebuah usaha mengembalikan puisi dan
penyair kepada masyarakat yang selama ini memandang puisi dan para penyairnya
sebagai suatu dunia yang jauh dan asing, terlebih ketika dua unsur itu berada
di tengah ruang sakral sastra seperti yang disebut di atas.
Layaknya
kafe atau warung kopi pada umumnya, para pengunjung bisa sepenuhnya leluasa
memilih meja kosong dan tempat duduk. Mereka bisa saling membuka dan berbagi
obrolan ringan, memesan kudapan dan/atau minuman yang terlulis pada menu. Tanpa
ada perasaan pekewuh, soal perbedaan
latar belakang pendidikan, disiplin ilmu, jarak usia, serta kecenderungan
sosial lainnya mereka berbaur. Mereka bertukar bicara, bercerita, berdiskusi,
mencurahkan isi hati dan kepala, lalu tertawa, sambil sesekali tanpa ragu
mengucapkan makian sebagai tanda keakraban. Kemudian, dua orang relawan Malam
Ngopinyastro dengan membawa setumpuk buku, secarik kertas, dan bolpoin terselip
mendekati mereka. Dua relawan itu layaknya seorang sales promotion sebuah
produk, tetapi kali itu produk yang mereka tawarkan adalah puisi, bukan untuk
dibeli, melainkan untuk dibacakan. Satu per satu meja pengunjung warung kopi
mereka hampiri.
“Maaf
bisa minta waktunya sebentar?” ujar seorang relawan membuka percakapan,
“Sekiranya ada yang berminat menjadi dermawan bahasa, atau ingin membacakan
puisi karya sendiri? Bila tidak ada atau mungkin lupa membawa puisi, ini kami
ada beberapa buku kumpulan puisi. Mari, silahkan dipilih.” Sembari memberi
sedikit informasi mengenai buku-buku yang ditawarkan, seorang relawan lain
dengan bolpoinnya mencatati nama-nama para pengunjng yang tertarik untuk
mendermawankan dirinya. Ya, boleh jadi di kafe atau warung kopi, semua orang
yang datang berkunjung tercatat sebagai tamu dan sama terhitung layaknya sebuah
ungkapan, bahwa tamu adalah raja.
“Biarpun
acara sastra, akan tetapi kafe tetap sepenuhnya kafe,” tutur Bung Akid. “Target
utamanya adalah masyarakat peminum kopi itu sendiri. Penyair bisa membacakan
puisi di mana saja. Karena, akan menjadi sebuah kekeliruan, bila kafe diubah
sebagai mimbar sastra pada umumnya. Di sini, siapapun, bahkan seorang penyair
kondang kudu siap tidak menjadi
siapa-siapa. Sebab, ini warung kopi.”
Selepas
malam pembacaan puisi di warung kopi tersebut, para relawan Malam Ngopinyastro
akan melingkar di warung kopi yang lain pada malam yang lain pula untuk
berdiskusi, membedah, dan menelaah sastra, serta berbagi teori tentang sastra
serta disiplin-disiplin ilmu lain yang berkaitan erat dengan dunia sastra
(psikologi, sejarah, filsafat, sosial-politik, dsb.). Lingkaran mereka pun dari
waktu ke waktu semakin besar saja. Pada mulanya hanya ada Bung Akid dan Bung
Rabu, kini lingkaran itu membesar hingga menjadi sembilan orang. Malam
Ngopinyastro adalah taman terbuka diskusi dan eksekusi sastra lintas komunitas,
bahkan terbuka juga bagi mereka yang tidak memiliki komunitas. Di luar
lingkaran Malam Ngopinyastro itu terdapat komunitas-komunitas dan
individu-individu yang selalu setia menghadiri malam pembacaan Malam
Ngopinyastro di manapun itu diadakan. Komunitas-komunitas itu antara lain ada
Retorika dan Vena Teatrika dari UGM, Koin dari UII Ekonomi, IST Akprind ada
Sanggar 28 “TERKAM”, UNY ada tetaer Misbah dan Sangkala, dari STIE YKPN ada
Teater Keboen Tebu, dari UAD Psikologi ada Teater Roeang 28, Teater Seriboe Djendela
dari Universitas Sanata Dharma, Teater ESKA dari UIN, dari UMY ada Teater
Tangga, dari Universitas Atma Jaya ada Teater Lilin, dsb.
Sejak
Malam Ngopinyastro XVIII (Juli 2013), Malam Ngopinyastro menjelma menjadi
sebuah komunitas sastra dengan struktur yang jelas. Ada presiden direktur di
sana, sekretaris, bendahara, kepustakaan, departemen usaha, publikasi dan
dokumentasi, departemen pertunjukan, dan departemen akademis. Kini Malam
Ngopinyastro semakin menjadi hegemoni tandingan atas sastra di atas mimbar.
Namun, bukan berarti mengubah warung kopi menjadi mimbar sastra. Warung kopi
tetaplah warung kopi. Hanya saja, pengunjung boleh menikmati atau bahkan turut
serta membaca puisi. Sastra tidak harus berada di atas menara gading, mimbar
sastra, akan tetapi jangan sampai sastra justru menjajah warung kopi. Di antara
dua kutub tegangan inilah Malam Ngopinyastro hidup.
*Mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma dan penyair bebas.